FAKULTAS Hukum Universitas Bengkulu (FH Unib) sukses menyelenggarakan Seminar Nasional & Call Paper Hukum Tata Negara (HTN) dengan tema “Dinamika Praktik Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebagai Hukum Demokratis,” di Hotel Grage Kota Bengkulu, Rabu dan Kamis, 4 -5 September 2024.
Kegiatan bernuansa akademik ini dibuka oleh Rektor Unib Dr. Retno Agustina Ekaputri, S.E, M.Sc yang diwakili oleh Dekan Fakultas Hukum Unib Dr. M. Yamani, S.H, M.Hum. Pembukaan ditandai dengan pemukulan dol secara simbolis oleh Dekan FH Unib bersama para narasumber.
Peserta seminar, mulai dari para dosen, para mahasiswa dari FH Unib maupun perguruan tinggi lain se Provinsi Bengkulu, serta para praktisi hukum di Bengkulu, sangat antusias mengikuti seminar. Karena narasumber yang dihadirkan adalah para pakar hukum terkemuka di Indonesia dan di Bengkulu.
Ada mantan Menkopolhukam, Calon Wakil Presiden RI pada Pilpres 2024 yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H, S.U, M.I.P yang hadir sebagai Keynote Speaker.
Kemudian ada juga akademisi, filsuf dan pengamat politik terkenal Rocky Gerung, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Yance Arizona, S.H, M.H, M.A, Dosen Hukum Tata Negara FH Unib Dr. Ardilafiza, S.H, M.Hum, serta Anggota KPU RI Dr. Idham Kholik, S.E, M.Si, sebagai narasumber.
“Terimakasih, semua narasumber menyempatkan diri hadir guna memberikan pengkayaan ilmu pengetahuan kepada kita semua tentang dinamika konstitusi di Indonesia. Untuk Bung Rocky Gerung, telah hadir duluan tadi malam dan melakukan diskusi dengan kita semua terkait tema seminar ini,” ujar Kepala Bagian HAN/HTN FH Unib, Prof. Dr. Iskandar, S.H, M.Hum.
Tujuan kegiatan ini tambah Prof. Iskandar adalah untuk menganalisis dan membahas berbagai isu hukum berkenaan dengan pelaksanaan dan penegakan konstitusi di Indonesia. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Hukum Kenegaraan, Demokrasi dan Pemilu, serta etika penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum.
“Fakultas Hukum Unib melalui seminar ini ingin berkontribusi dengan menghasilkan ide-ide dan gagasan serta pandangan terhadap kondisi Hukum Kenegaraan dan Konstitusi Indonesia yang berkembang saat ini. Oleh sebab itu, semoga kegiatan ini banyak memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya dalam bidang pembangunan hukum di Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Pelaksana Seminar & Call Paper HTN, Dr. Arie Elcaputera, S.H, M.H menjelaskan, kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Bagian HAN/HTN FH Unib dengan Bank Bengkulu, KPU Provinsi Bengkulu, dan Penerbit PT. Rajawali Pers.
Selain seminar, kegiatan ini juga menghadirkan beberapa pemakalah dari berbagai institusi pendidikan tinggi, yaitu dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Universitas Bhayangkara Jakarta, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Bengkulu dan Universitas Kristen Satya Wacana.
“Semoga setiap ilmu dan pengetahuan yang kita sampaikan pada kegiatan seminar & call paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pembangunan hukum di Indonesia, dan bagi adik-adik mahasiswa semoga dapat menambah ilmu dan informasi tentang dinamika konstitusi dan demokrasi di negara kita,” tuturnya.
Dekan FH Unib Dr. Yamani dalam sambutannya memberikan apresiasi kepada Bagian HAN/HTN FH Unib dan segenap panitia yang telah menyelenggaraan seminar nasional ini. Ia juga menjelaskan, kegiatan ini merupakan salah satu implementasi Kampus Merdeka, dimana sejumlah mahasiswa FH Unib tengah melakukan proses magang di Bank Bengkulu yang menjadi salah satu sponsor acara ini.
“Kepada Prof. Mahfud dan seluruh narasumber, serta para pemakalah, kami berterimakasih karena telah menyempatkan waktu untuk berbagi ilmu pengetahuan kepada kami. Semoga kegiatan ini banyak memberikan manfaat bagi kita semua,” ujarnya.
Sementara itu, pada seminar yang dipandu Dr. Ari Wirya Dinata selaku moderator, Prof. Mahmud menjelaskan tentang teori dan sejarah dinamika konstitusi di Indonesia. Menurutnya, Negara Indonesia adalah Negara Hukum dengan sistem ketatanegaraan yang sangat dinamis, selalu berubah, sesuai dengan perubahan situasi politik.
“Perubahan bukan hanya terjadi pada praktiknya, tapi juga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan itu selau terjadi untuk menjadi lebih baik dari waktu ke waktu,” ujarnya, seraya memberikan apresiasi terhadap tema seminar & call paper yang diselenggarakan FH Unib ini karena sangat relevan dengan kondisi kekinian.
Menghadapi dinamika ketatanegaraan yang berubah-ubah dan akan terus berubah ini kata Prof. Mahfud, setidaknya ada 3 (tiga) prinsip dasar yang harus dijaga, yaitu demokrasi, konstitusi dan nomokrasi (kedaulatan hukum).
“Kita semua harus menjaga, bagaimana agar setiap perubahan jangan sampai keluar dari bingkai besar konsep tata negara kita, yaitu demokrasi, konstitusi dan nomokrasi,” tegasnya.
Perubahan ketatanegaraan diperlukan untuk membagi kekuasaan dan menciptakan check and balance, keseimbangan hak, tugas, kewajiban dan kewenangan antar lembaga negara, dalam rangka mewujudkan sistem ketatanegaraan yang efektif dan efisien sesuai dengan kultur budaya bangsa.
Namun perlu dicatat kata Prof. Mahfud, dalam menciptakan check and balance cabang kekuasaan negara, kita tidak mendasarkan pada Trias Politika (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif). Trias Politika itu bukan hukum tapi ilmu dan Indonesia tidak pernah menerapkannya, karena banyak cabang kekuasaan di negara kita, bukan hanya Trias Politika.
Ditambahkan Prof. Mahfud, ada dalil di seluruh dunia bahwa “Kalau masyarakat berubah, hukum pasti berubah.” Kenapa ? Sebab, hukum itu ada untuk melayani masyarakat. Bahkan konstitusi bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat lain. Hal ini karena konstitusi dan hukum itu adalah resultante atau kesepakatan.
“Jangan panik dengan perubahan, karena perubahan suatu keniscayaan. Tidak ada hukum yang asli karena sifatnya berubah-ubah. Tugas kita menjaga selama konstitusi berlaku dan kalau sudah berubah maka kita jaga hasil perubahan tersebut,” paparnya.
Kemudian, sebagai akademisi kata Prof. Mahfud, mari kita berikan masukan agar ketatanegaraan kita tetap menjunjung tinggi demokrasi, konstitusi dan nomokrasi. “Jangan pernah lelah mencintai negara ini, bahwa ada ketidakadilan, mari kita perbaiki,” tukas Prof. Mahfud.
Anggota KPU RI, Idham Khalik, memaparkan tentang dinamika Pemilu sebagai salah satu instrument demokrasi di Indonesia. Menurutnya, di lihat dari penyelenggaraan Pemilu, kehidupan demokrasi di Indonesia sudah lebik bagus di banding negara-negara lain. Bahkan dibandingkan dengan Amerika Serikat sekalipun, Pemilu di Indonesia jauh lebih baik karena pemilihan presiden dilakukan secara langsung.
“Pemilu di Indonesia diamanahkan dan diatur secara langsung oleh konstitusi. Karena itu, meskipun di dalam undang-undang memilih itu adalah hak, namun sebenarnya memilih pemimpin adalah tugas kita bersama yang telah diatur oleh konstitusi.”
“Banyak keunggulan lainnya, termasuk kelengkapan lembaga penyelenggara, dan sistem pemilihan yang dilaksanakan secara langsung. Di Amerika sampai saat ini belum mampu melaksanakan pemilihan secara langsung seperti pemilihan presiden di Indonesia,” ujarnya.
Namun disayangkan kata Idham, berdasarkan penilaian lembaga luar, kehidupan demokrasi kita masih belum baik. Hal ini dikarenakan masih buruknya kultur demokrasi kita. “Hal ini patut kita jadikan alarm, agar kita selalu meningkatkan budaya dan kematangan berdemokrasi,” ujarnya.
Ditambahkan Idham, dinamika penyelenggarakan Pemilu di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa. Namun tugas kita semua, agar Pemilu tetap sesuai dengan konstitusi.
Pada era reformasi kita memasuki pase transisi demokrasi. Kemudian pada Pemilu 2004 kita mulai memasuki masa konsolidasi demokrasi dan pada Pemilu serentak 2024 ini diharapkan menjadi loncatan bagi Bangsa Indonesia untuk menuju Kematangan Demokrasi.
Salah satu indikasi kematangan demokrasi, bahwa Pemilu berjalan tertib dan lancar, dengan masyarakat memberikan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil (Luber dan Jurdil).
Termasuk Pilkada Serentak 2024 ini, masih menjadi pase konsolidasi demokrasi yang akan menjadi batu loncatan bagi Bangsa Kita memasuki pase Kematangan Demokrasi, seiring dengan kondisi Indonesia menyambut masa keemasannya.
Karena itu, Idham Kholik selaku Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, mengajak seluruh pihak mesukseskan Pilkada Serentak tahun 2024 untuk mendongkrak indeks demokrasi di Indonesia. Sukses dari segi penyelenggaraan maupun sukses dalam arti meningkatnya kualitas budaya politik dan hasil Pilkada.
“Ada 508 kabupaten/kota dan 37 provinsi akan menggelar Pilkada. Tanggal 27 September 2024 nanti kita menetapkan para calon Kepala Daerah. Mari kita sukseskan hajatan ini, tingkatkan literasi dan kualitas budaya politik, serta mari kita tunjukkan kalau kehidupan demokrasi di Indonesia sudah semakin matang,” papar Idham Khalik.
Berbeda dengan Dr. Yance Arizona, menurutnya, berdasarkan kajian politik dan ketatanegaraan yang dilakukan sejumlah ahli, justru saat ini terjadi fenomena kemunduran demokrasi di Indonesia. Salah satu penyebabnya, masih marak terjadi politik uang pada penyelenggaraan Pemilu.
“Beberapa studi juga menunjukan, saat ini sedang terjadi stagnasi dan degradasi demokrasi di Indonesia. Betul bahwa instrument demokrasi paling lengkap di Indonesia, termasuk dalam proses Pemilu. Tapi, prilaku demokrasi kita masih sangat rendah kualitasnya,” ujarnya.
Di sisi lain menurut Yance, juga terjadi upaya sentralisasi kekuasaan melalui penundukan DPR dan pembelengguan Mahkamah Konstitusi (MK). “Nyanyian lagu setuju yang dipopulerkan Iwan Fals untuk memotret DPR era Orde Baru kembali relevan pada DPR saat ini,” ujarnya.
DPR sering kali tidak mampu melaksanakan fungsi sebagai sarana penyalur aspirasi kedaualtan rakyat, disebabkan para Ketua Partai Politik (Parpol) dijadikan menteri. Selain itu, produk legislasi yang dihasilkan lebih rendah jumlahnya dan lebih buruk kualitasnya dibanding rezim pemerintahan sebelumnya.
“Kita lihat praktik pembuatan legislasi yang terkesan ugal-ugalan, ditandai dengan proses pembuatan undang-undang yang begitu cepat, minim partisipasi publik dan lemah kontrol dari lembaga pengawas, serta cenderung sentralisasi kekuasaan di tangan eksekutif,” papar Yance.
Kemudian bagaimana dengan fenomena pengekangan MK ? Menurut Yance, hari-hari ini dunia luar banyak menyoroti soal upaya pengekangan MK di Indonesia melalui cara baru dan belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu melalui cara pernikahan. Hasilnya, keluarlah keputusan MK No. 90.
“Sekarang sudah ada pergantian Ketua MK dan sudah ada 2 hakim MK yang masuk. Mudah-mudahan bisa memperbaiki performa MK. Jika tidak ada pergantian ketua MK dan 2 hakim konstitusi yang baru ini, Saya tidak yakin ada keputsan MK nomo 60 dan 70,” tukas Yance.
Pembicara terakhir, Dr. Ardilafiza. Sama dengan Prof. Mahfud, dia menjelaskan bahwa dinamika perubahan konstitusi itu adalah hal biasa. Namun yang perlu dikaji adalah kenapa perubahan itu terjadi ? Apakah hukum tata negara kita yang salah atau politik kita yang tidak benar ?
“Betul perubahan konstitusi harus dilakukan, namun sepanjang untuk perbaikan demokrasi kita. Karena itu, perubahan hendaknya dilakukan secara komprehensif dan dilakukan oleh pihak yang tidak berkepentingan. Perubahan itu jangan serahkan kepada orang politik, tapi serahkanlah kepada akademisi yang tidak punya kepentingan,” ujarnya.
Ardilafiza juga menjelaskan, nilai konstitusi ada tiga, yaitu tematik, nominal dan normatif. Tematik itu hanya diibaratkan pajangan saja, sebagai pelengkap ketika negara ini berdiri, tidak diikuti. Kemudian nominal, konstitusi sudah diikuti, tapi ada beberapa hal yang dilakukan perubahan sedemikian rupa.
“Lalu nilai ketiga normatif. Inilah konstitusi yang kita cita-citakan, diikuti dan dilaksanakan apa yang dikehendaki oleh konstitusi itu. Nah, pasca reformasi, bagaimana konstitusi di Indonesia ? Betul infrastruktur demokrasi sudah ada, seperti Pemilu sudah sangat lengkap, tapi budaya politik masih sangat rendah kualitasnya,” pungkas Ardilafiza. [Purna Herawan/Humas].