Untuk meningkatkan Indikator Kinerja Utama (IKU) terkait Praktisi Mengajar dan wawasan mahasiswa, Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (FH Unib) menggelar seminar nasional politik hukum agraria dengan menghadirkan 4 (empat) pakar sebagai narasumber, pada Kamis (5/12/2024).
Seminar ini berlangsung di ruang internasional Dekanat FH Unib dengan tema “Hak Menguasai Negara Dalam Konfigurasi Politik Hukum Agraria di Indonesia.” Keempat pakar yang hadir yaitu Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H, M.Hum (Guru Besar Hukum Agraria FH Universitas Andalas), Prof. Dr. Afrizal, M.A (Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Andalas), dan Dr. Syaiful Bahari, S.H, M.H (Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam Jakarta), serta Prof. Dr. Herawan Sauni, S.H, M.S (Guru Besar Hukum Agraria FH Unib).
Ketua Program Studi MKn FH Unib, Dr. Emelia Kontesa, S.H, M.Hum, dalam sambutannya mengungkapkan rasa bangganya karena seminar ini menghadirkan empat pakar hukum agraria terkemuka di Indonesia.
“Semoga kegiatan ini memberikan banyak manfaat bagi eksistensi Program Studi Magister Kenotariatan FH Unib, serta mampu menambah pengkayaan ilmu pengetahuan bagi para mahasiswa,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Seminar, Ahmad Wali, S.H, M.H, menjelaskan bahwa seminar ini melibatkan mahasiswa S1 dan S2 FH Unib, praktisi hukum, notaris, aktivis dari AKAR Foundation, serta perwakilan Badan Musyawarah Adat (BMA) dan Kepala Desa dari berbagai kabupaten di Bengkulu yang kerap menghadapi konflik agraria.
“Seminar ini menjadi wadah untuk berbagi ilmu dan informasi faktual dari lapangan, yang nantinya bisa dijadikan bahan analisis akademik dan mencari solusi atas konflik agraria,” ujar Ahmad Wali.
Kegelisahan Terhadap Implementasi UUPA
Seminar berdurasi lebih kurang tiga jam ini dibuka oleh Dekan FH Unib, Dr. M. Yamani, S.H, M.Hum dan dipandu oleh seorang aktivis dari AKAR Foundation, Pramasti Ayu Kusdinar, sebagai moderator.
Dalam pidatonya, Dr. Yamani menyoroti relevansi tema seminar dengan situasi terkini, dimana masyarakat termasuk akademisi mengalami kegelisahan terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria UUPA.
Ia menegaskan, kegelisahan disebabkan karena berbagai konflik agraria terus terjadi tanpa solusi pasti. Terjadinyanya konflik tersebut menunjukkan implementasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 belum efektif.
“Meski tujuan Hak Menguasai Negara (HMN) sesuai Pasal 2 UUPA adalah untuk kemakmuran rakyat, penyimpangan sering terjadi dalam pelaksanaannya, khususnya dalam hubungan dan perbuatan hukum antar orang-orang terkait tanah dan sumber daya alam,” ujar Dr. Yamani.
Melalui seminar ini, diharapkan para mahasiswa sebagai agen perubahan dapat menyerap informasi dan ilmu pengetahuan dari para narasumber, sehingga memberi pencerahan yang dapat mematik diskusi-diskusi akademik untuk merumuskan rekomendasi solusi terhadap berbagai persoalan agraria yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah.
Rekonstruksi Hak Menguasai Negara
Pada seminar ini, para narasumber memberikan pandangan strategis terkait politik hukum agraria. Dr. Syaiful Bahari menekankan bahwa konsep penguasaan tanah oleh negara menurut UUPA 1960 bukan dalam pengertian negara sebagai eigenar atas tanah, sebagaimana terumuskan dalam domeinverklaring.
HMN menurut Pasal 2 UUPA adalah rakyat memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.
“Di sini sangat jelas yang menjadi parameter dan tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat, bukan segelintir orang, kelompok masyarakat atau korporasi,” paparnya.
Namun kata Dr. Syaiful, akibat terjadinya kekosongan tafsir atau pemaknaan atas HMN selama lima belas tahun sebelum lahirnya UUPA 1960, praktek HMN tetap berpegang pada domeinverklaring, bahkan semakin menyimpang dari pemaknaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
“Karena itu, salah satu upaya untuk bisa memahami secara utuh tentang pemaknaan HMN adalah dengan merekonstruksi pemaknaan asas dan norma HMN dalam sistem hukum agraria nasional,” tukasnya.
Ego Sektoral Hambat Implementasi UUPA
Guru Besar Hukum Agraria yang kini menjabat Wakil Rektor III Bidang SDM dan Teknologi Informasi Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Kurnia Warman, pada seminar ini memaparkan makalah berjudul “Quo Vadis Politik Hukum Agraria di Indonesia : Hak Menguasai Negara Versus Pengakuan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.”
Menurutnya, masih sulitnya mewujudkan Masyarakat Adil Makmur (MAM) dalam konteks tujuan Hak Menguasai Negara (HMN) dalam UUPA, dikarenakan masih terjadi ego sektorial dalam pembuatan undang-undang sektoral, padahal UUPA itu sendiri tidak ego.
“Sepanjang masih banyak undang-undang sektoral yang mementingkan tujuan kelompok tertentu, maka tujuan HMN yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA akan sulit diimplementasikan,” ujarnya.
Prof. Kurnia juga menyoroti tanah ulayat yang saat ini sudah di ranah politik hukum penuntasan pengakuan tanah ulayat masyarakat hukum adat melalui pendaftaran tanah. Artinya, sudah berkembang dari pengakuan deklaratif ke pengakuan administratif. Bahkan telah ada peraturan teknisnya melalui Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024.
“Hal ini perlu dukungan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian, pertambangan, kehutanan, kelautan dan perikanan, termasuk Pemerintah Daerah. Jika tetap mempertahankan ego sektoral, maka penuntasan pengakuan tanah ulayat juga sulit terwujud,” tukasnya.
Penyebab Konflik Agraria
Guru Besar Sosiologi FISIP Unand Prof. Afrizal dan Guru Besar Hukum Agraria FH Unib Prof. Dr. Herawan Sauni pada seminar ini menyoroti tentang penyebab berbagai konflik agraria di tanah air termasuk di Provinsi Bengkulu.
Menurut Prof. Afrizal, konflik antara masyarakat pedesaan di Indonesia dan perusahaan kelapa sawit disebabkan oleh kehampaan hak de facto atas tanah. Di samping itu, mekanisme penyelesaian konflik tidak efektif karena oligarki yang kuat.
Dia menjelaskan, dari hasil penelitian di Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, ditemukan 66 % penyebab konflik agraria karena tanah diambil tanpa persetujuan (kehampaan hak de facto) dan 57 % karena kebun plasma tidak direalisasikan (kehampaan de facto).
“Jika penelitian dilakukan di Bengkulu, yakin hasilnya akan sama yaitu konflik agraria disebabkan kehampaan de facto, baik itu karena tanah diambil tanpa persetujuan dan karena kebun plasma tidak direalisasikan,” katanya.
Prof. Herawan Sauni menambahkan, sejak tahun 1980 konflik HGU disebabkan beberapa faktor, antara lain terkait dengan objek HGU itu sendiri, luasnya HGU, terlantarnya HGU secara fisik, tidak ada kepastian hukum berakhirnya HGU, terbatasnya lahan pertanian dan lahan pertanian dikuasai oleh non petani, serta lemahnya peran negara (pemerintah) sebagai subjek HMN.
“Padahal, dalam UUPA dan peraturan tentang HGU sudah sangat jelas semuanya. Jika tujuan HMN dalam UUPA dan aturan HGU dilaksanakan dengan baik, maka konflik mampu diredam dan diselesaikan. Akan tetapi, banyak pihak menutup mata dengan aturan-aturan itu dan lebih mementingkan ego sektoral,” tandas Prof. Herawan.
Seminar yang berlangsung selama tiga jam ini disambut antusias oleh peserta. Banyak peserta yang ingin mengajukan pertanyaan, namun keterbatasan waktu hanya memungkinkan beberapa tanggapan. Acara diakhiri dengan sesi foto bersama dan pembagian sertifikat kepada peserta. [Purna Herawan | Humas].